Sebagai Direktur Persbureau Indonesia (Persindo) di Belanda, Palar sering mengirimkan artikel-artikel ihwal politik, sosial, dan demokrasi ke tanah air. Ia juga sempat pulang ke Indonesia pada 1938 untuk memantau langsung situasi terbaru, lalu kembali ke Belanda dan menuliskan apa saja yang telah ditemukannya.
Baca Juga: translate bahasa jawa
Di Belanda, karier politik Palar semakin cerah. Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 2 (2008), menuliskan, Palar terpilih menjadi anggota Tweede Kamer (hlm. 326). Ia mewakili Partij van de Arbeid (PvdA), partai politik baru sempalan SDAP. Ada dua orang Indonesia lainnya yang juga duduk di parlemen rendah Belanda itu, yakni Roestam Effendi dan Setiadjit.
Artikel Terkait: Kamus Bahasa Sunda
Namun, relasi Palar dengan partainya merenggang setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Palar tegas mendukung proklamasi RI, bahkan mempromosikannya di Belanda, termasuk di parlemen. Ini membuat para petinggi PvdA—yang ternyata belum bisa menerima kemerdekaan bangsa Indonesia—tidak suka.
Orang-orang PvdA semakin kesal karena Palar terus mendesak untuk mendukung kemerdekaan RI sekaligus mengakui kepemimpinan Sukarno. “Jika kita mengakui kenyataan adanya Republik (Indonesia), maka kita harus juga mengakui Sukarno sebagai presidennya!” lantang Palar dalam kongres partai, seperti dikutip Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawan dalam Kronik Revolusi Indonesia (1999: 390).
Baca Juga: translate bahasa jawa
Di Belanda, karier politik Palar semakin cerah. Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 2 (2008), menuliskan, Palar terpilih menjadi anggota Tweede Kamer (hlm. 326). Ia mewakili Partij van de Arbeid (PvdA), partai politik baru sempalan SDAP. Ada dua orang Indonesia lainnya yang juga duduk di parlemen rendah Belanda itu, yakni Roestam Effendi dan Setiadjit.
Artikel Terkait: Kamus Bahasa Sunda
Namun, relasi Palar dengan partainya merenggang setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Palar tegas mendukung proklamasi RI, bahkan mempromosikannya di Belanda, termasuk di parlemen. Ini membuat para petinggi PvdA—yang ternyata belum bisa menerima kemerdekaan bangsa Indonesia—tidak suka.
Orang-orang PvdA semakin kesal karena Palar terus mendesak untuk mendukung kemerdekaan RI sekaligus mengakui kepemimpinan Sukarno. “Jika kita mengakui kenyataan adanya Republik (Indonesia), maka kita harus juga mengakui Sukarno sebagai presidennya!” lantang Palar dalam kongres partai, seperti dikutip Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawan dalam Kronik Revolusi Indonesia (1999: 390).
Komentar
Posting Komentar