Sesudah menguap berkali-kali sampai membuat matanya yang sayu terkatup-katup seperti kembang sepatu layu, Asti tercenung di muka almari. Dibawah lemarinya ada tumpukan map laporan bulanan sekolah yang belumlah tuntas dia lakukan, ada binder yang kertasnya menginvestigasi, serta beberapa buku fiksi yang umumnya cukuplah isi kekosongannya diakhir minggu. Akan tetapi, minggu ini kekosongan itu sudah terisi dengan suatu yang menempel di pikirannya sejak dari malam.
Hati Asti tidak diduga memendung waktu lihat lipatan kertas berwarna yang diplastik. Kertas itu berisikan pesan, komplet dengan denah tempat, waktu acara, serta nama si pengantar kertas sekaligus juga si penyelenggara acara. Asti temukan catatan kecil dibawah kolom namanya, "Doakan mudah-mudahan tidak hujan, ya."
Baca Juga: contoh cerpen
Dengan badan sempoyongan Asti bergerak buka bupet, ambil semua koleksi photo yang sudah lama dia terima dari seorang, dilihatnya dengan tatapan kembali kenang satu-satu. Dia pun pastikan terdapatnya catatan titimangsa dibalik kertas photo. Lantas mencapai binder serta lem kertas. “Sepertinya saya butuh menulis suatu yang berlainan untuk ini hari...” gumamnya.
Asti buka bindernya, pelan-pelan buka halaman-perhalaman hingga tampaklah tulisan-tulisan lama itu; narasi sehari-harinya, kelam, indah, pada saat masih tetap kuliah, waktu menikah, pecahan ingatannya teratur rapi. Pada akhirnya sampailah pada halaman kosong. Lantas diambilnya satu photo...
***
03:55 WIB
Sebelum mengawali tulisan ini, kuawali dengan melihatmu tersenyum dalam satu potongan waktu. Terlihat kau tengah menepakkan map dokumen ke lenganku, mungkin untuk yang terakhirnya. Saya terperanjat, semringahku setengah-setengah.
Mbak Luluk serta Ibu Rum bungah melihat kita. Pak Saif berdiri di muka pintu kantor, tangannya mengepal tutup mulutnya. Matanya memejam. Peluang di siang bolong itu dia meredam angop (bahasa Indonesia: menguap -red) sebab dirundung kantuk, atau jangan-jangan meredam batuk.
ADVERTISEMENT
Batuk? Nantikan, saat itu di ruang cuma ada tiga lelaki; termasuk juga kau diantaranya. Pak Saif serta Mas Yusuf tidak sepertimu yang terkadang terdengar terkakah-kakah walau sebenarnya kau tengah batuk karena sehari-harimu mempraktikan kampanye konyol, “Dua bungkus rokok nikmat, empat gelas kopi prima."
Seringkali murid-murid ketawa waktu dengar nada batukmu, kata mereka nada batukmu lucu. Syahdan, kami beberapa guru menasihati murid-murid supaya tidak berlaku demikian. Saya, maksudku; kami iba padamu.
Untung saja waktu menepak lenganku kau tidak batuk. Kau justru ketawa, ya.
Saya ingat, kau ketawa sesudah melemparkan rayuan yang cukuplah memberi warna kemuraman perasaanku hari itu.
Sampai ini hari saya masih tetap ingat benar...
“Mereka -orang-orang nyinyir serta sombong sebab sudah mempunyai anak- (ini tafsiranku) menduga kita tidak miliki anak. Walau sebenarnya semua murid di sekolah ini ialah penerus generasi kita, calon pemimpin bangsa kita, serta mereka semua anak-anak kita. Ya kan, Bu?”. Baru kau tersenyum, lantas bergerak sekalian menepakkan map dokumen itu ke lenganku.
Maaf, azan subuh. Ibuku telah bangun. Tulisan ini akan saya teruskan kembali kelak.
09:10 WIB
Dibanding dibikin pusing pikirkan warna serta motif gamis-kardigan-kerudung-sepatu (eh, saya hanya miliki dua sepatu) yang akan kupakai kelak malam, lebih baik tulisan ini kulanjutkan saja...
Perhatianku tertuju pada potongan lain waktu; satu peristiwa yang mustahil berlangsung untuk yang keduakalinya. (Kalimat ini kembali? Ya, saya senang mengulang-ulangnya, sebab beberapa kata dapat diulangi sedang waktu? tidak).
Murid-murid terlihat begitu ceria, mereka berdesak-desakan; ketertarikan sebab ingin ada di barisan depan. Ingin eksis dipotret. Hingga badan kami; Ibu Wakil Kepala Sekolah, tiga guru, serta empat wali murid begitu berdempetan. Hingga tidak menyengaja ujung sepatu salah satunya murid mencapai kaus kaki beliau.
Kulihat raut muka Ibu Waka –yang setiap harinya tetap menempatkan muka galak- begitu syok. Dapat diyakinkan, ya. Sesudah itu beliau langsung membentak murid-murid, lantas mereka sama-sama mempersalahkan keduanya. “Dia Bu, ini lho Bu, bukan saya Bu, dari belakang yang menggerakkan duluan, Bu."
Kami bertujuh ketawa ngacir menyaksikannya. Setiap saat mengingat lakuan mereka, saya terasa seperti gadis supel yang mempunyai banyak masa lalu manis. Haa!
Oh iya, pada saat itu saya kehilangan bros bunga mawar kecil pemberian bekas suamiku. Mungkin terjatuh waktu berdesak-desakan dengan murid-murid. Ibu Rum serta Mas Yusuf sudah sempat menolong mencarikannya untukku, tetapi sayang bros itu raib bak ditelan tanah perkebunan. Sumber: http://bospengertian.com/.
Hati Asti tidak diduga memendung waktu lihat lipatan kertas berwarna yang diplastik. Kertas itu berisikan pesan, komplet dengan denah tempat, waktu acara, serta nama si pengantar kertas sekaligus juga si penyelenggara acara. Asti temukan catatan kecil dibawah kolom namanya, "Doakan mudah-mudahan tidak hujan, ya."
Baca Juga: contoh cerpen
Dengan badan sempoyongan Asti bergerak buka bupet, ambil semua koleksi photo yang sudah lama dia terima dari seorang, dilihatnya dengan tatapan kembali kenang satu-satu. Dia pun pastikan terdapatnya catatan titimangsa dibalik kertas photo. Lantas mencapai binder serta lem kertas. “Sepertinya saya butuh menulis suatu yang berlainan untuk ini hari...” gumamnya.
Asti buka bindernya, pelan-pelan buka halaman-perhalaman hingga tampaklah tulisan-tulisan lama itu; narasi sehari-harinya, kelam, indah, pada saat masih tetap kuliah, waktu menikah, pecahan ingatannya teratur rapi. Pada akhirnya sampailah pada halaman kosong. Lantas diambilnya satu photo...
***
03:55 WIB
Sebelum mengawali tulisan ini, kuawali dengan melihatmu tersenyum dalam satu potongan waktu. Terlihat kau tengah menepakkan map dokumen ke lenganku, mungkin untuk yang terakhirnya. Saya terperanjat, semringahku setengah-setengah.
Mbak Luluk serta Ibu Rum bungah melihat kita. Pak Saif berdiri di muka pintu kantor, tangannya mengepal tutup mulutnya. Matanya memejam. Peluang di siang bolong itu dia meredam angop (bahasa Indonesia: menguap -red) sebab dirundung kantuk, atau jangan-jangan meredam batuk.
ADVERTISEMENT
Batuk? Nantikan, saat itu di ruang cuma ada tiga lelaki; termasuk juga kau diantaranya. Pak Saif serta Mas Yusuf tidak sepertimu yang terkadang terdengar terkakah-kakah walau sebenarnya kau tengah batuk karena sehari-harimu mempraktikan kampanye konyol, “Dua bungkus rokok nikmat, empat gelas kopi prima."
Seringkali murid-murid ketawa waktu dengar nada batukmu, kata mereka nada batukmu lucu. Syahdan, kami beberapa guru menasihati murid-murid supaya tidak berlaku demikian. Saya, maksudku; kami iba padamu.
Untung saja waktu menepak lenganku kau tidak batuk. Kau justru ketawa, ya.
Saya ingat, kau ketawa sesudah melemparkan rayuan yang cukuplah memberi warna kemuraman perasaanku hari itu.
Sampai ini hari saya masih tetap ingat benar...
“Mereka -orang-orang nyinyir serta sombong sebab sudah mempunyai anak- (ini tafsiranku) menduga kita tidak miliki anak. Walau sebenarnya semua murid di sekolah ini ialah penerus generasi kita, calon pemimpin bangsa kita, serta mereka semua anak-anak kita. Ya kan, Bu?”. Baru kau tersenyum, lantas bergerak sekalian menepakkan map dokumen itu ke lenganku.
Maaf, azan subuh. Ibuku telah bangun. Tulisan ini akan saya teruskan kembali kelak.
09:10 WIB
Dibanding dibikin pusing pikirkan warna serta motif gamis-kardigan-kerudung-sepatu (eh, saya hanya miliki dua sepatu) yang akan kupakai kelak malam, lebih baik tulisan ini kulanjutkan saja...
Perhatianku tertuju pada potongan lain waktu; satu peristiwa yang mustahil berlangsung untuk yang keduakalinya. (Kalimat ini kembali? Ya, saya senang mengulang-ulangnya, sebab beberapa kata dapat diulangi sedang waktu? tidak).
Murid-murid terlihat begitu ceria, mereka berdesak-desakan; ketertarikan sebab ingin ada di barisan depan. Ingin eksis dipotret. Hingga badan kami; Ibu Wakil Kepala Sekolah, tiga guru, serta empat wali murid begitu berdempetan. Hingga tidak menyengaja ujung sepatu salah satunya murid mencapai kaus kaki beliau.
Kulihat raut muka Ibu Waka –yang setiap harinya tetap menempatkan muka galak- begitu syok. Dapat diyakinkan, ya. Sesudah itu beliau langsung membentak murid-murid, lantas mereka sama-sama mempersalahkan keduanya. “Dia Bu, ini lho Bu, bukan saya Bu, dari belakang yang menggerakkan duluan, Bu."
Kami bertujuh ketawa ngacir menyaksikannya. Setiap saat mengingat lakuan mereka, saya terasa seperti gadis supel yang mempunyai banyak masa lalu manis. Haa!
Oh iya, pada saat itu saya kehilangan bros bunga mawar kecil pemberian bekas suamiku. Mungkin terjatuh waktu berdesak-desakan dengan murid-murid. Ibu Rum serta Mas Yusuf sudah sempat menolong mencarikannya untukku, tetapi sayang bros itu raib bak ditelan tanah perkebunan. Sumber: http://bospengertian.com/.
Komentar
Posting Komentar