Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan akan konsisten menerapkan mekanisme penyesuaian tarif (tariff adjustment) listrik pada tahun depan.
Lalu, bagaimana dampaknya pada tarif listrik pelanggan?
Sesuai Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 14 Tahun 2017 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh PT PLN (Persero), mekanisme penyesuaian tarif (tariff adjustment) pada golongan tarif nonsubsidi dilakukan apabila terjadi perubahan terhadap asumsi makro ekonomi, yaitu kurs Harga Minyak Indonesia (ICP), dan inflasi. Evaluasi dilakukan setiap tiga bulan.
Baca Juga: harga kabel
Persentase perubahan tarif bisa menambah atau mengurangi tarif tenaga listrik (TTL) bagi pelanggan nonsubsidi. Persentase perubahan tariff adjustment dapat menjadi faktor pengurang apabila kurs rupiah menguat, inflasi turun, dan ICP lebih rendah dari asumsi APBN.
Sebaliknya, penyesuaian tarif listrik akan menjadi faktor penambah apabila kurs rupiah tertekan, inflasi melesat, dan ICP melonjak.
Dalam perjalanannya sejak 2017, pemerintah memutuskan untuk menahan tarif tenaga listrik, baik untuk pelanggan subsidi maupun nonsubsidi. Hal itu dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat dan daya saing industri.
Kondisi ini kemudian berdampak pada keuangan PLN pada 2017 lalu. Laba PLN tercatat Rp4,42 triliun atau anjlok 45 persen dibandingkan capaian tahun sebelumnya. Namun, pada tahun lalu laba PLN naik menjadi Rp11,6 triliun.
Hanya saja, kenaikan laba tersebut dibantu oleh piutang kompensasi pemerintah atas tarif listrik yang lebih rendah dari biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik.
Saat ini, rata-rata TTL itu tegangan rendah ditetapkan sebesar Rp1.467 per kilowatt-hour (kWh), tegangan menengah Rp1.115 per kWh, dan tegangan tinggi Rp997 per kWh. Konsekuensinya, pemerintah memberikan subsidi atas selisih tarif listrik yang berlaku dengan BPP listrik PLN.
Kemudian karena mekanisme penyesuaian tarif tak berjalan bagi pelanggan nonsubsidi, pemerintah harus membayar kompensasi kepada PLN. Pada 2018 lalu, jumlah kompensasi pemerintah yang diberikan kepada PLN tercatat Rp23,17 triliun. Kompensasi ini dicatat PLN sebagai pendapatan kompensasi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan sebelum beranjak ke dampak penerapan penyesuaian tarif, ada baiknya menilik potensi kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) di luar penyesuaian tarif. Sesuai ketentuan, TTL ditetapkan oleh pemerintah.
"Tarif tenaga listrik itu dasarnya adalah berapa biaya pokok pembangkitan, transmisi, distribusi, pelayanan dan ini masih harus dibahas," ujar Fabby kepada CNNIndonesia.com, Rabu (4/7).
Dalam perhitungan TTL, ada estimasi dari penetapan energi primer yang berpengaruh pada biaya pembangkitan yang didominasi oleh biaya bahan bakar dan dipengaruhi oleh nilai tukar. Porsi biaya pembangkitan sendiri diperkirakan berkisar 60 persen dari TTL.
Lihat Juga: harga pipa PVC
"Kami tidak tahu berapa penetapannya, tetapi BPP pembangkitan tahun ini sudah naik," ujarnya.
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 55 K/20/MEM/2019, pemerintah menyesuaikan besaran BPP PLN 2018. Akibatnya, BPP pembangkitan nasional pada 1 April 2019 hingga 31 Maret 2020 ditetapkan sebesar Rp 1.119 per kWh atau 7,86 sen dolar AS per kWh.
BPP tersebut naik sekitar 9 persen dari BPP pembangkitan nasional pada periode 1 April 2018 hingga 31 Maret 2019, yang dipatok sebesar Rp 1.025 per kWh atau 7,66 sen dolar AS per kWh.
Lalu, bagaimana dampaknya pada tarif listrik pelanggan?
Sesuai Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 14 Tahun 2017 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh PT PLN (Persero), mekanisme penyesuaian tarif (tariff adjustment) pada golongan tarif nonsubsidi dilakukan apabila terjadi perubahan terhadap asumsi makro ekonomi, yaitu kurs Harga Minyak Indonesia (ICP), dan inflasi. Evaluasi dilakukan setiap tiga bulan.
Baca Juga: harga kabel
Persentase perubahan tarif bisa menambah atau mengurangi tarif tenaga listrik (TTL) bagi pelanggan nonsubsidi. Persentase perubahan tariff adjustment dapat menjadi faktor pengurang apabila kurs rupiah menguat, inflasi turun, dan ICP lebih rendah dari asumsi APBN.
Sebaliknya, penyesuaian tarif listrik akan menjadi faktor penambah apabila kurs rupiah tertekan, inflasi melesat, dan ICP melonjak.
Dalam perjalanannya sejak 2017, pemerintah memutuskan untuk menahan tarif tenaga listrik, baik untuk pelanggan subsidi maupun nonsubsidi. Hal itu dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat dan daya saing industri.
Kondisi ini kemudian berdampak pada keuangan PLN pada 2017 lalu. Laba PLN tercatat Rp4,42 triliun atau anjlok 45 persen dibandingkan capaian tahun sebelumnya. Namun, pada tahun lalu laba PLN naik menjadi Rp11,6 triliun.
Hanya saja, kenaikan laba tersebut dibantu oleh piutang kompensasi pemerintah atas tarif listrik yang lebih rendah dari biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik.
Saat ini, rata-rata TTL itu tegangan rendah ditetapkan sebesar Rp1.467 per kilowatt-hour (kWh), tegangan menengah Rp1.115 per kWh, dan tegangan tinggi Rp997 per kWh. Konsekuensinya, pemerintah memberikan subsidi atas selisih tarif listrik yang berlaku dengan BPP listrik PLN.
Kemudian karena mekanisme penyesuaian tarif tak berjalan bagi pelanggan nonsubsidi, pemerintah harus membayar kompensasi kepada PLN. Pada 2018 lalu, jumlah kompensasi pemerintah yang diberikan kepada PLN tercatat Rp23,17 triliun. Kompensasi ini dicatat PLN sebagai pendapatan kompensasi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan sebelum beranjak ke dampak penerapan penyesuaian tarif, ada baiknya menilik potensi kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) di luar penyesuaian tarif. Sesuai ketentuan, TTL ditetapkan oleh pemerintah.
"Tarif tenaga listrik itu dasarnya adalah berapa biaya pokok pembangkitan, transmisi, distribusi, pelayanan dan ini masih harus dibahas," ujar Fabby kepada CNNIndonesia.com, Rabu (4/7).
Dalam perhitungan TTL, ada estimasi dari penetapan energi primer yang berpengaruh pada biaya pembangkitan yang didominasi oleh biaya bahan bakar dan dipengaruhi oleh nilai tukar. Porsi biaya pembangkitan sendiri diperkirakan berkisar 60 persen dari TTL.
Lihat Juga: harga pipa PVC
"Kami tidak tahu berapa penetapannya, tetapi BPP pembangkitan tahun ini sudah naik," ujarnya.
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 55 K/20/MEM/2019, pemerintah menyesuaikan besaran BPP PLN 2018. Akibatnya, BPP pembangkitan nasional pada 1 April 2019 hingga 31 Maret 2020 ditetapkan sebesar Rp 1.119 per kWh atau 7,86 sen dolar AS per kWh.
BPP tersebut naik sekitar 9 persen dari BPP pembangkitan nasional pada periode 1 April 2018 hingga 31 Maret 2019, yang dipatok sebesar Rp 1.025 per kWh atau 7,66 sen dolar AS per kWh.
Komentar
Posting Komentar